BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 26 Februari 2009

MENGENAI PENULIS

Nama lengkap : Sholihul Hadi atau biasa dipanggil likul, lahir di Rembang pada, 10 Oktober 1977, Tempat tinggal saya di Desa Maguan RT. 05 RW. 01, Kec. Kaliori, Kab. Rembang, tetapi sekarang saya lebih sering di. Ponpes Raudlotul Falah Pamotan Rembang Jawa Tengah

Pendidikan saya, MI Miftahul Huda Maguan Lulus tahun 1990, MTs. Negeri Lasem Lulus tahun 1993, MA Negeri Lasem Lulus tahun 1996, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Lulus tahun 2003

Pengalaman Organisasi Intra Kampus : Redaktur Pelaksanan Majalah Justisia Fak. Syari’ah IAIN Walisongo periode 1997-1999, Redaktur Senior Majalah-Jurnal Justisia Fak. Syari’ah IAIN Walisongo periode 2000-2001, Litbang Jurnal Justisia Fak. Syar’iah IAIN Walisongo periode 2002, Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Jinayah Siyasah (Pidana- Politik Islam) Fak. Syari’ah IAIN Walisongo periode 1999, Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa IAIN Walisongo periode 2001

Pengalaman Organisasi Ekstra Kampus : Pengurus PMII Komisariat Walisongo Tahun 1998, Ketua Keluarga Mahasiswa Rembang di Semarang (KAMARESA) Tahun 1999, Koordinator Lembaga Pengembangan Kader (LPK) PMII Cabang Kota Semarang Tahun 2000

Pengalaman Kerja : Staf pengajar di MTs Miftahul Huda Kaliori Rembang tahun 2007 sampai sekarang, Staf pengajar di Ponpes Raudlotul Falah Pamotan Rembang tahun 2007 sampai sekarang.

PLURALISME AGAMA; SEBUAH REALITAS SEJARAH

Oleh : Sholihul Hadi

Pluralisme secara harfiah berarti jamak, beberapa, berbagai hal dan kepelbagaian atau banyak. Oleh sebab itu sesuatu yang dikatakan plural senantiasa terdiri dari banyak hal, berbagai jenis, pelbagai sudut pandang serta latar belakang.(Elga Sarapung dan Zuly Qodir dalam Th. Sumartana (editor), 2002: 7)

Pengertian keanekaragaman kebudayaan manusia, menurut Claude Levis Strauss, tidak boleh dipahami secara statis. Keanekaragaman ini bukanlah semacam contoh kepasifan atau sebuah katalog kering, tentu saja manusia menghasilkan kebudayaan yang berbeda-beda disebabkan oleh jarak yang jauh secara geografi, kepemilikan khusus di daerah tersebut dan ketidaktahuan dengan manusia yang lain.( Claude Levis Strauss, 2000: 10) Keanekaragaman manusia dalam jenis dan kehidupannya, baik etnis, budaya dan agama hadir dari proses perjalanan sejarah kehidupan manusia itu sendiri.

Dalam konteks teologis, Keanekaragaman umat manusia merupakan kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Keadaan manusia yang beraneka ragam akan tetap ada sepanjang sejarah kehidupan manusia itu sendiri, ini merupakan salah satu fitrah Allah yang perennial.

Kemajemukan bukanlah sekedar melihat kenyataan bahwa di dunia ini telah hadir berbagai macam keberbedaan agama, suku, golongan bahasa, pendidikan, berbeda tingkat ekonomi, karakter dan lain-lain, tetapi kemajemukan juga harus disikapi dengan interaksi, dinamika, dialog, dan komunikasi. Kemajemukan masyarakat ataupun kemajemukan agama pada hakekatnya tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat majemuk, tapi yang lebih mendasar harus disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai nilai positif dan merupakan rahmat Tuhan kepada manusia.(Sufyanto, 2001: 10)

Pada dasarnya semua orang mendambakan–sekalipun ada banyak perbedaan—bisa hidup damai. Damai artinya tidak ada kerusuhan, tidak ada permusuhan, tidak ada perusakan, tidak saling membunuh, damai dalam keberagaman. Damai yang tetap menghargai nilai-nilai dari masing-masing agama, tanpa paksaan atau rekayasa untuk menyeragamkan, atau menjadikan sama-satu. Bukan pula merasa bangga dominan secara kuantitas. Damai sebuah kenyataan yang menghargai perbedaan, yang menjunjung tinggi kualitas hidup bersama. .(Elga Sarapung dan Zuly Qodir dalam Th. Sumartana (editor), 2002: xvi)

Dalam pluralisme agama, sikap solidaritas antar agama sangat penting. Solidaritas merupakan hubungan antar agama yang menunjukkan kerukunan menuju kerja sama. Realisasi kaidah hubungan antar agama, karena hubungan antar agama harus berdasarkan pada tidak ada prasangka negatif, jadi hubungan solidaritas didasarka pada prasangka positif. Prinsipnya ialah, pertama bahwa selain agama sendiri ada agama lain yang harus dihormati (pluralis). Dan kedua, masing-masing agama harus tetap memegang teguh agamanya (positif).

Pluralisme dalam Sejarah Islam
Dalam konteks Islam, pluralisme bukanlah permasalahan baru. Sejak pertama Islam diturunkan, yaitu sejak Muhammad hijrah ke Yasrib yang kemudian diganti menjadi Madinah telah muncul persoalan keanekaragaman di Madinah. Di Kota itu telah hadir dan berkembang beraneka ragam agama. Hal ini yang kemudian memunculkan konsep kebijakan ahlul kitab dalam Islam.

Sejarah telah mencatat bahwa negara Madinah yang dibangun Muhammad dalam sejarah Islam sudah mengembangkan sikap pluralis terhadap agama-agama dengan mengajak kaum ahlul kitab bersatu dalam pandangan yang sama (kalimatus sawa) yakni keyakinan teologis akan keesaan Allah. Rasulullah Saw mencari titik temu antar keyakinan agama-agama dengan satu keyakinan “menyembah Tuhan yang satu”. Dalam dataran sosial politik Rasulullah juga telah berhasil menciptakan keadaan damai bersaudara dengan perjanjian yang disebut Shahifah Madinah, perjanjian antara agama dan golongan seluruh penduduk Madinah.

Dalam masalah agama ada dua agama besar yang berkembang di Madinah, yaitu Islam yang dibawa Nabi dan dipeluk oleh orang-orang Arab Makkah (Muhajirin) dan Madinah (Anshar), dan agama Nabi Musa yang dipeluk orang-orang Yahudi. Di lain pihak juga masih ada kepercayaan-kepercayaan penyembah berhala.

Salah satu ketetapan Piagam madinah yang menjadi dasar toleransi diantara kelompok-kelompok sosial tersebut adalah prinsip umat. Teks Piagam Madinah pasal 1 menyebutkan bahwa orang-orang mukmin dan muslim adalah umat yang satu, tidak termasuk golongan lain.

Batasan prinsip umat dalam perkembangan sejarah Piagam Madinah tidak hanya terbatas pada pasal 1, dalam pasal 2 juga dijelaskan dalam bahwa suku-suku yang ada di Madinah bebas menjalankan adat kebiasaan yang berlaku di antara mereka. Ini disebut dalam pasal 2: “Golongan Muhajirin dari Qurays tetap mengikuti adat kebiasaan baik yang berlaku di kalangan mereka, mereka bersama-sama menerima dan membayar tebusan darah mereka dan menebus tawanan mereka dengan cara yang ma’ruf dan adil di antara orang mukmin.”

Jika ditilik secara historis, prinsip umat dalam piagam madinah mempunyai makna yang paling inklusif dan pluralistik dizamannya. Makna umat mencakup anggota-anggota yang heterogen dari berbagai suku dan keyakinan agama. Pemahaman ini tertulis dalam teks pasal 25; “Sesungguhnya Yahudi Banu Auf satu umat bersama orang-orang mukmin, bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum Muslim agama mereka, termasuk sekutu-sekutu dan diri mereka kecuali orang-orang yang berlaku dzalim dan berbuat dosa, karena sesungguhnya yang orang demikian akan mencelakakan diri dan keluarganya.”

Pluralisme yang dibangun Nabi SAW atas dasar persamaan hak dan kewajiban antar warga sebagai penduduk Madinah di bawah kepemimpinannya. Hal ini tertera dalam Piagam Madinah pasal 46: “Sesungguhnya Kaum Yahudi al-Aus, sekutunya, dan diri mereka memperoleh hak dan kewajiban seperti apa yang diperoleh kelompok lain pendukung shahifat ini serta memperoleh perlakuan yang baik dari semua pemilik shahifat ini. Sesungguhnya kebaikan berbeda dari kejahatan, setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. sesungguhnya Allah membenarkan dan memandang baik apa yang termuat dalam isi shahifat ini”.

Piagam Madinah ditulis Nabi dengan tujuan utama menciptakan toleransi perdamaian antara penduduk Madinah yang beraneka ragam suku, agama dan budaya. Berdasarkan data sejarah dalam penandatanganan Piagam Madinah ada delapan suku Arab yang hidup di Yatsrib atau Madinah, yaitu; Banu Auf, Banu Saidat, Banu al-Harits, Banu Jusyam, Banu al-Nujjar, Banu Amar bin Auf, Banu al-Nabit dan Banu al-Aus. Tapi sebenarnya dalam komunitas keluarga kesukuan atau tha’ifat Banu Auf, Banu Saidat, Banu al-Harits, Banu Jusyam dan Banu al-Nujjar merupakan sub divisi dari keluarga besar suku Khazraj, sedang Banu Amar bin Auf, Banu al-Nabit dan Banu al-Aus merupakan keluarga besar dari suku Aus.

Sedang dari suku-suku Yahudi disebutkan ada Yahudi Banu Auf, Yahudi Banu Saidat, Yahudi Banu al-Harits, Yahudi Banu Jusyam, dan Yahudi Banu al-Nujjar yang merupakan bagian dari Yahudi Qainuqa’. Dan Yahudi Banu Aus merupakan bagian (sub divisi) dari Yahudi Keluarga Banu Nadhir dan Qainuqo’. Yahudi Banu Tsa’labat dan Jafnat subdivisi dari Tsa’labat. Juga disebutkan penduduk Madinah lainnya, Banu Surtaibat, Mawali Tsa’labat, Bithanat (orang-orang dekat atau teman kepercayaan), dan golongan Arab Musyrikin.

Piagam Madinah yang menjadi landasan pembangunan masyarakat baru di Madinah membuktikan bahwa Nabi tidak ingin menyingkirkan umat-umat lain. Bahkan diantara pendukung Shahifah ini harus terjalin sikap saling tolong-menolong dan kerja sama untuk membela persatuan komunitas shahifah. “Sesungguhnya orang Yahudi wajib menanggung nafkah mereka dan orang mukmin menanggung nafkah mereka sendiri, tetapi di antara mereka harus ada kerja sama dan tolong menolong dalam menghadapi orang yang menyerang warga shahifat ini, dan mereka saling memberi saran dan nasihat dan berbuat kebaikan, bukan perbuatan dosa”, ini tertulis dalam teks Piagam Madinah pasal 37. Sesama penduduk Madinah harus menciptakan rasa aman, keadaan damai, kerja sama dan saling menasehati dalam kebaikan. Prinsip pluralisme agama untuk menanamkan benih persahabatan agar saling mengenal dan persaudaraan. Pluralisme agama merupakan jalinan persaudaraan sosial yang sangat positif, menurut Sumarta dengan adanya pluralisme agama manusia dapat menghargai eksistensi manusia lain.(Th. Sumartana, dkk., 2001: 111)

Sikap toleran, saling menghormati dan menghargai keyakinan orang lain selalu diperlihatkan Nabi dan kaum muslim. Hal ini terlihat dengan tidak adanya syarat muslim bagi warga negara Madinah, bahkan dalam teks disebutkan bahwa warga shahifat (warga Madinah) merupakan satu umat yang diikat oleh wilayah dengan dasar Piagam Madinah.

Sikap-sikap Rasulullah tersebut kemudian diteruskan para khlalifah sesudahnya walau dengan bentuk yang berbeda. Seperti pada masa Umar bin Khattab, ia terkenal mempunyai sikapnya toleransi dan menghormati agama lain, seperti yang dikutip Tholhah Hasan bahwa Khalifah Umar bin Khatab waktu mendengar berita bahwasanya pasukan Islam telah menguasai Al-Quds (Yerussalem), segera dikirim perintah pada komandannya yang isinya antara lain:
a. Berikan jaminan keamanan kepada penduduk, baik jiwanya, harta miliknya maupun rumah-rumah ibadahnya;
b. Jangan mengganggu atau merusak gereja-gereja, atau salib-salibnya;
c. Jangan mengganggu atau mengambil barang-barang fasilitas peribadatan yang mereka miliki;
d. Jangan memaksa agama kepada mereka.( Anshari Thoyib, dkk (ed.), 1997: 80)

Dalam dokumen yang dikenal sebagai “Piagam Mulia” (Yeruzalim) sikap-sikap demikian ini diteruskan dan dipertahankan oleh para khalifah sesudahnya. Para khalifah Umawiyah di Andalusia (Spanyol) juga konsisten menjalankan politik kemajemukan hingga Max Dimont melukiskan bahwa Islam di Spanyol sebagai rahmat yang mengakhiri kezaliman keagamaan Kristen sebelumnya.

Pada masa Dinasti Umawiyah pula khalifah di Andalusianya (Spanyol) juga dengan konsisten menjalankan praktek politik pluralisme dengan mengesahkan bahkan politik pluralisme yang dibawah Islam di Spanyol dilukiskan telah dapat mengakhiri kezaliman keagamaan yang dilakukan penguasa Kristen, sebelumnya telah melakukan upaya Kristenisasi secara paksa pada penduduk Spanyol. Kemudian dalam masa lima ratus tahun, pemerintahan Islam telah membawa penduduk yang menganut tiga agama hidup berdampingan satu sama lain, yaitu Kristen, Yahudi dan Islam. Ketiga agama tersebut mengiringi kejayaan Spanyol dengan kerukunan dan kedamaian.( Nurcholish Madjid, 1992: ix )

DAFTAR PUSTAKA

Elga Sarapung dan Zuly Qodir, “Memahami Pluralisme, Konflik dan Perdamaian”, dalam Th. Sumartana (editor), Pluralisme, Konflik dan Perdamaian; Studi Bersama Antar Iman, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002
Claude Levis Strauss, Ras dan Sejarah, terj. Nasrullah Ompu Bana, Yogyakarta, LKiS, 2000
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun; Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholish Madjid, Pustaka Pelajar dan LP2IF, Jakarta, 2001
Th. Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001
Anshari Thoyib, dkk (ed.), HAM dan Pluralisme Agama, Penerbit P3KS, Surabaya, 1997
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta, 1992